George Gerbner memfokuskan penelitiannya beserta
rekan-rekannya pada media televisi. Ia menyatakan bahwa televisi menyajikan
kepada penonton suatu cara yang sama dalam memandang dunia: Television is centralized system of
story-telling. It is part and parcel of our daily lives. Its dramas, commercials,
news, and other programs bring a relatively coherent world of common image and
messages to every home. Television cultivates from infancy to very
predispositions and preferences that used to be acquired from other primary
sources. Transcending historic barriers of literacy and mobility, television
has become the primary common source of socialization and everyday information
(mostly in the form of entertainment) of an otherwise heterogeneous population.
The repetitive pattern of television’s mass-produced messages and images forms
the mainstream of common symbolic environment.
Gerbner menyebut efek televisi
ini sebagai kultivasi (cultivation),
yang artinya ‘penanaman’, istilah yang pertama kali dikemukakan pada tahun
1969. Televisi dengan segala pesan dan gambar yang disajikannya merupakan
proses atau upaya untuk ‘menanamkan’ cara pandang yang sama terhadap realitas
dunia kepada khalayak. Televisi dipercaya sebagai instrumen atau agen yang
mampu menjadikan masyarakat dan budaya bersifat homogen (homogenizing agent) (Littlejohn & Foss, 2005, hlm.299).
Teori kultivasi / analisis
kultivasi adalah teori yang memperkirakan dan menjelaskan pembentukan persepsi,
pengertian, dan kepercayaan mengenai dunia sebagai hasil dari mengonsumsi pesan
media dalam jangka panjang. Dengan kata lain, realitas yang khalayak media
terima adalah realitas yang diperantarai (mediated
reality). Teori kultivasi tidak membahas efek dari suatu tayangan tertentu
(apa yang akan dilakukan seseorang setelah menonton suatu tayangan), tetapi
mengemukakan gagasan mengenai budaya secara keseluruhan (Morrissan dkk., 2010,
hlm.106).
Tiga asumi dasar teori
kultivasi:
1.
Televisi adalah media yang sangat berbeda.
Televisi
merupakan media yang memiliki akses paling besar untuk menjangkau masyarakat. Televisi
mampu menarik perhatian kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda namun
sekaligus menunjukkan kesamaannya. Televisi menggabungkan pesan yang bersifat
audio dan visual (tidak seperti radio yang hanya audio atau koran yang hanya
visual).
2.
Televisi membentuk cara mayarakat berpikir
dan berinteraksi.
Gagasan
ini menyatakan bahwa jumlah kekerasan di televisi jauh lebh banyak dibandingkan
dengan realitas yang sebenarnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh penelitian
Kurtz (1998), yang mengemukakan angka statistik menunjukkan penurunan jumlah
kejahatan pembunuhan sebesar 20% dalam periode 1993-1996, walaupun pada saat
yang sama jumlah film yang bercerita soal pembunuhan melonjak sebear 721%.
3.
Pengaruh Televisi bersifat terbatas.
Berdasarkan
observai yang terukur dan independen, pengaruh televisi terhadap individu dan
budaya ternyata relatif kecil. Meski begitu, pengaruh itu etap ada dan
signifikan. Gerbner menyatakan bahwa menonton televisi pada umumnya akan
menghasilkan pengaruh yang berifat kumulatif dan luas dalam hal bagaimana kita
memandang dunia (Morrissan dkk., 2010, hlm.106-109).
Sumber:
Littlejohn, Stephen W; Karen A.F. (2005). Theories of Human Communication.
Thomson.
McQuail,
Dennis. (1987). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Morrisan; Andy C.W & Farid H.U. (2010). Teori Komunikasi Massa. Bogor: Ghalia Indonesia.
1 komentar:
Posting Komentar