Penelitian tentang pesan
kekerasan di media terhadap anak-anak ini, membahas Powerful Effect. Alasannya adalah karena selanjutnya peneliti
memakai teori kultivasi untuk mengukur dampak kekerasan media terhadap
anak-anak, dengan pemikiran bahwa media akan berpengaruh bagi anak-anak baik
secara kognitif, afektif, maupun behavioral (Hipodermic Needle Theory). Berikut ini adalah penjelasan
historis mengenai teori efek:
·
Powerful Effect
Pada mulanya
para peneliti kamonukasi percaya pada teori Hipodermic
Needle atau yang mirip dengan itu, teori Magic Bullet. Dalam teori Magic
Bullet, media seperti sebuah pistol yang menembakkan pesan kepada khalayak
(audience). Sedangkan teori Hipodermik Needle menggunakan analogi
yang berbeda yaitu dengan mengumpamakan media seperti jarum yang menyuntikkan
pesan kepada khalayak. Kedua metafora ini menyatakan bahwa penyebab
individu-individu berpikir dan berperilaku adalah merujuk pada pesan yang
mereka terima. Jadi, teori-teori ini berpendapat bahwa media begitu kuat sehingga
mereka dapat langsung mempengaruhi khalayak sesuai dengan cara yang dimaksudkan
oleh pendesain pesan. Pendeknya, para peneliti di era awal perkembangan ilmu
komunikasi ini berasumsi bahwa media memiliki kekuatan untuk memberitahu orang
tentang apa yang harus dipikir dan bagaimana harus berperilaku.
Teori ini
memiliki kelemahan yaitu semua khalayak dianggap sama, baik dalam berpikir
maupun berperilaku. Perbedaan usia, ras, etnis, jenis kelamin, atau status
sosial dan ekonomi tidak mempengaruhi cara orang mengintepretasikan informasi
yang diterima dari media. Para peneliti tersebut tidak memperhitungkan fakta
bahwa orang mungkin bereaksi berbeda pada pesan yang sama. Khalayak dianggap
pasif dan dapat dimanipulasi (Baldwin, Perry & Moffitt, 2004, hlm.194-195).
Oleh karena itu, Raymond Bauer kemudian menyangkalnya dan engatakan bahwa
khalayak media sebenarnya “keras kepala”. Bauer juga mengatakan banyak variabel
yang dapat membentuk efek dalam bermacam-macam cara (Littlejohn & Foss,
2005, hlm.298).
Teori Hipodermic Neddle kemudian diikuti
dengan model Two-Step Flow. Disini
khalayak tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh media saja melainkan diakui
adanya Opinion Leaders. Wright
mengatakan individu-individu yang, lewat kontak dari hari ke hari, mempengaruhi
orang-orang lain dalam pengambilan keputusan dan pembentukan pendapat (Tubbs
& Moss, 2000, hlm.208). Individu-individu tersebut misalnya keuarga, teman,
rekan kerja, dan lain-lain. Model Two-Step
Flow pun lama-lama berkembang dan memunculkan model Multi-Step Flow.
·
Limited
Effect
Scharmm dan
Roberts (1971, hlm.191) melukiskan pandangan baru mengenai khlayak komunikasi
masa kini: Suatu khalayak yang sangat aktif mencari apa yang mereka inginkan,
menolak lebih banyak isi media, daripada menerimanya, berinteraksi dengan
anggota-anggota kelompok yang mereka masuki dengan isi media yang mereka
terima, dan sering menguji pesan media massa dengan membicarakannya dengan
orang-orang lain atau membandingkannya dengan isi media lainnya (Tubbs &
Moss, 2000, hlm.209).
Meski teori Limited Effects meruntuhkan
asumsi-asumsi Powerful Media, mereka
menegaskan pengaruh dari hubungan-hubungan sosial dan proses psikologis
individual. Para peneliti lebih lagi berkonsentrasi pada perbedaan di antara
individu-individu dalam sebuah khalayak, seperti perbedaan usia, ras, etnis,
dan jenis kelamin. Mereka juga mulai mempertimbangkan pengaruh-pengaruh sosial,
seperti keanggotaaan politik, agama, dan terutama status ekonomi. Banyak
peneliti setuju pada klaim Joseph Klapper (1960) bahwa media hanya merupakan
salah satu bagian dari sebuah puzzle, dan perhatian lebih diberikan pada
bagaimana individua-individu menginterpretasi pesan-pesan dan bagaimana
jenis-jenis pengauh sosial lainnya membentuk persepsi (Baldwin, Perry &
Moffitt, 2004, hlm.195-196).
·
Moderate
Effect
Inti dari
perspektif ini adalah gagasan mengenai khalayak aktif yang menggunakan isi
media untuk menciptakan pengalaman (Bryant & Street, 1988). Perspektif Moderat Effect menyatakan pentingnya
pengaruh media dapat terjadi pada masa yang lebih lama sebagai sebuah akibat
langsung dari khalayak. Khalayak dapat membuat media menyajikan tujuan pasti,
seperti menggunakan media untuk mempelajari informasi dan memperoleh
pengalaman.
Perspektif
ini adalah kelanjutan dari teori Limited Effect yang menekankan adanya
selektivitas yang dilakukan khalayak dalam mengkonsumsi media. Perspektif ini
membahas tentang selective exposure,
yaitu suatu kecenderungan untuk memilih komunikasi yang akan menegaskan
pendapat, sikap, dan nilai-nilai diri sendiri. Orang cenderung menyukai dan
mencari orang-orang yang kepercayaan, sikap, dan nilai-nilainya serupa dengan
dirinya, dan tidak menyukai serta menghindari orang-orang yang dipandang
berbeda dalam hal-hal ini (Tubbs & Moss, 2000, hlm.209-210).
Peneliti
mulai menguji bagaimana orang-orang menginterpretaikan pesan secara berbeda
melalui selective attention, sellective perception, dan selective retention. Ini berarti para
peneliti mulai menguji pesan seperti apa yang menarik orang-orang, mengapa
orang-orang memiliki interpretasi yang berbeda-beda pada pesan yang sama, dan
mengapa orang mengingat hal-hal yang berbeda-beda dari sebuah pesan (Baldwin,
Perry & Moffitt, 2004, hlm.195).
Sepanjang
tahun 1970 dan 1980, para peneliti kembali berpikir bahwa media bisa saja
memainkan peranan yang kuat. Mereka mengakui bahwa efek media mungkin terbatas,
tapi di beberapa area efek yang kuat mulai terlihat (Baldwin, Perry &
Moffitt, 2004, hlm.196).
Mungkin
tokoh yang paling vokal pada era ini adalah Elisabeth Noelle-Neumann.
Noelle-Neumann percaya bahwa teori limited
effect telah mengubah interpretasi hasil-hasil penelitian selama
bertahun-tahun. Ia juga mengatakan bahwa dogma “ketidakberdayaan media” tidak
lagi dapat dipertahankan. Ia menyatakan sejarah teori komunikasi bagai
pendulum, yang berayun dari pekerjaan Klapper yang terkenal sampai pada saat
ini, yaitu kebanyakan para peneliti percaya bahwa media memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi (Littlejohn & Foss, 2005, hlm.299).
Paradigma limited but powerfull effect mengakomodasi
beberapa dari teori-teori limited effect
juga beberapa dari model-model powerful
effect. Teori dependensi media, framing, dan agenda setting merefleksikan ide bahwa efek media terbatas hanya
pada satu dimensi dari sebuah topik dan tidak menghubungkan pengaruh yang luas
kepada media. Apa yang bisa dikatakan penelitian limited but powerfull effect adalah bahwa media kadang memainkan
peranan yang kuat dalam membentuk ide dan perilaku orang-orang, kadang media
hanya berpengaruh kecil terhadap khalayak (Baldwin, Perry & Moffitt, 2004,
hlm.197).
Sumber:
Baldwin, John R; Stephen D.P; Mary A.M. (2004). Communication Theories for Everyday Life.
United States of America:
Pearson Education, Inc:.
Littlejohn, Stephen W; Karen A.F. (2005). Theories of Human Communication.
Thomson.
Tubbs, Stewart L; Sylvia M. (2000). Human Communication: konteks-konteks komunikasi, buku 2, terjemahan:
Deddy Mulyana. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
0 komentar:
Posting Komentar