Hall
mengelompokkan budaya sebagai konteks tinggi dan konteks rendah, tergantung
dari dari arti apa yang datang dari ruang lingkupnya dibandingkan dengan arti
dari perkataan yang diucapkan (Samovar, Porter and McDaniel, 2010, p.256).
Komunikasi
konteks tinggi merupakan komunikasi di mana sebagian besar informasi diketahui
orang tersebut, dan hanya sedikit yang dibagikan sebagai bagian dari pesan
(Samovar, Porter and
McDaniel, 2010, p.257).
Dengan kata lain, arti dari informasi yang dipertukarkan selama interaksi tidak
harus dikomunikasikan dengan kata-kata. Dalam budaya konteks tinggi, komunikasi
difokuskan lebih kepada bagaimana pesan tersebut disampaikan daripada apa yang
dikatakan serta waspada terhadap isyarat nonverbal.
Dalam
budaya konteks tinggi, komunikasi yang dilakukan cenderung kurang terbuka,
mereka menganggap konflik berbahaya pada semua jenis komunikasi (Samovar, Porter
and McDaniel, 2010, p.257). Bagi masyarakat yang menganut budaya ini,
konflik dipandang harus dihadapi dengan hati-hati. Beberapa negara yang
tergolong menganut budaya ini adalah Amerika Indian, Amerika Latin, Jepang, China,
Afrika-Amerika, Korea, termasuk Indonesia (Samovar, Porter
and McDaniel, 2010, p.258).
Sedangkan
komunikasi konteks rendah merupakan komunikasi yang mana jumlah informasi lebih
besar dari yang disampaikan. Atau, dalam komunikasi konteks rendah, pesan
verbal mengandung banyak informasi dan hanya sedikit yang tertanam dalam
konteks atau peserta (Samovar & Porter, 2010, p.257).
Contoh
masyarakat konteks rendah adalah masyarakat Amerika yang lebih bergantung pada
perkataan yang diucapkan dibanding perilaku nonverbal untuk menyatakan pesan.
Beberapa negara yang tergolong menganut budaya konteks rendah adalah Jerman
Swiss, Skandinavia dan Amerika Utara (Samovar, Porter and McDaniel, 2010, p.258).
Sumber:
Sumber:
Samovar, L.A., Porter,
R.E & McDaniel E.R. (2010). Komunikasi
Lintas Budaya (Communication Between Cultures) (Indri Margaretha Sidabalok,
Trans.). Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika
0 komentar:
Posting Komentar