Orang
sangat dekat dengan budayanya sendiri, sehingga mereka berpikir tidak perlu
meneliti atau membicarakannya, dan karena faktor kebiasaan mereka tidak sadar
akan pengaruh budaya terhadap persepsi dan pola interaksi mereka (Samovar, Porter and
McDaniel, 2010, p.32). Sebagian besar budaya dipercayai sebagai hal yang benar
dan berada di alam bawah sadar.
Bila
dilihat dengan model komunikasi antarbudaya yang dikemukakan oleh Ting-Toomey, komunikasi
antarbudaya terjadi bila dua orang dengan latar belakang budaya, kepribadian
dan persepsi terhadap relasi antarpribadi adalah berbeda bercakap-cakap.
Seperti
yang telah dikatakan sebelumnya, budaya berkaitan erat dengan komunikasi, yang
mana secara keseluruhan, budaya merupakan bentuk dari komunikasi. Komunikasi
adalah budaya dan budaya adalah komunikasi (Edward T. Hall dalam Novinger 2001,
p.14).
Dalam
komunikasi antarbudaya, reaksi negatif dan evaluatif individu terhadap sebuah
budaya dapat menciptakan hambatan komunikasi (Novinger, 2001, p.23). Evaluasi
yang bersifat negatif menyebabkan adanya ketidaksukaan dan penghindaran. Hal
ini terjadi karena budaya ‘asing’ dipandang ‘menyimpang’ atau ‘berbeda’ dari
norma yang kita anut. Hambatan komunikasi tersebut terjadi di antara dua budaya
dan bersifat satu arah, yang mana hal ini mencerminkan adanya ketidakmampuan
untuk memahami norma dari budaya yang berbeda (budaya asing). Hambatan ini juga
tidak selalu bersifat timbal balik. Sebuah perbedaan budaya (bersifat tunggal)
dapat pula menjadi hambatan bila melanggar salah satu nilai inti komunikator.
Tracy
Novinger (2001, p.23) mengemukakan bahwa budaya merupakan matriks proses
perkembangan persepsi, serta verbal dan nonverbal. Faktor-faktor dalam tiga
pengelompokan umum komunikasi secara bergiliran akan mempengaruhi budaya satu
sama lain.
Hambatan potensial dalam komunikasi antar budaya dapat
ditunjukkan dengan bagan berikut:
Gambar 1. Bagan Hambatan
Potensial Komunikasi Antarbudaya
(Novinger, 2001, p.24)
Hambatan Persepsi:
Persepsi
merupakan proses internal yang mana kita memilih, mengevaluasi, dan
mengorganisasikan stimuli dari luar (Novinger 2011, p.27). Sejak lahir, orang
mempelajari persepsi-persepsi mereka dan dari pengalaman-pengalaman budaya yang
mereka alami akan menghasilkan perilaku. Berperilaku ‘natural’ terhadap budaya
yang berbeda tidak selalu menimbulkan konflik. Namun, saat hal itu menimbulkan konflik,
konflik biasanya menyebabkan masalah komunikasi.
Hambatan
persepsi dapat dibagi menjadi dua, yakni hambatan persepsi yang terbentuk
secara budaya dan hambatan persepsi individu yang terletak dalam kerangka
budaya. Secara garis besar, dalam hambatan persepsi yang terbentuk secara
budaya antara lain adalah prasangka (preconceptions),
kolektivisme dan individualisme, wajah (face),
hirarki, sejarah dan pengalaman, simbol-simbol kekuasaan, kekuatan (power), peran gender, peran kelas
social, peraturan (rules), organisasi
social (keluarga dan pemerintah), pola pikir, nilai, dan pandangan dunia (worldview). Sedangkan hambatan persepsi
individu yang terletak dalam kerangka budaya antara lain adalah uncertainty
(ketidakpastian), perilaku, etnosentrisme, serta kemampuan beradaptasi.
Hambatan persepsi dapat digambar sebagai bagan
berikut:
Hambatan Verbal:
Kata
“verbal” yang dimaksud oleh Tracy Novinger (2010, p.45) adalah bahasa. Tracy
mengemukakan bahwa bahasa merupakan kesepakatan linguistik yang bersifat
sewenang-wenang dan bersifat kultural. Bahasa sendiri merupakan cerminan dari
budaya, yakni isi budaya dan natur budaya. Bahasa merupakan produk dari budaya
dan budaya adalah produk dari bahasa.
Tracy
mengemukakan bahwa hambatan verbal terbagi atas dua, yakni meliputi kompetensi
dan secara literal atau oral. Kompetensi meliputi aksen, irama, konotasi,
konteks, idiom, penggunaan kesopanan, keheningan (silence), serta style.
Hambatan Nonverbal:
Tracy
Novinger (2010, p.57) mengemukakan terdapat kategori-kategori dasar dalam nonverbal
yang berpotensi menjadi hambatan komunikasi antar budaya, yakni konteks,
kronemik (pengertian tentang waktu), kinesik (komunikasi gerakan tubuh), proxemik (pengertian akan ruang),
kesiapan (immediacy), karakteristik
fisik serta vokal.
Kronemik
(pemaknaan akan waktu) dibagi menjadi dua, yakni Monokreonik (pendekatan linear
dan sekuensial terhadap waktu yang rasional, menekankan spontanitas, cenderung
fokus pada satu kegiatan dalam satu waktu) dan Polikronik (multi-aktivitas,
mengukur waktu dengan simbol dari sistem formal secara longgar). Kemudian
kinesik, dibagi atas gestur, kontak mata, ekspresi wajah, postur, serta
bau. Sedangkan proxemik dibagi atas fixed-feature
space (ruang yang telah tetap, yang dapat memberitahu apa yang dilakukan,
dimana dan bagaimana), semifixed-feature
space (ruang semi tetap, menambahkan fungsinya pada objek yang dapat
dipindah) serta informal space
(mencakup jarak yang dibuat dalam komunikasi interpersonal, bersifat variasi
berdasar budaya).
Karakter
fisik terbagi atas dua, yakni artifak dan penampilan fisik. Dan yang terakhir,
vokal atau karakteristik kemampuan berbicara (speech characteristics) terbagi atas karakteristik vokal, pemberi
sifat vokal (vocal qualifier), vocal rate serta vokal pemisah (vocal segregates).
Sumber:
Novinger, T. (2001).
Intercultural Communication: a Practical
Guide. United States of America:
University of Texas Press